🐖 Cerpen Kemarau Karya Aa Navis
Karyatulis. Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005) Gerhana: novel (2004) Kemarau (1967) Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963) 20:06. bagus banget mas menulis tentang tokoh-tokoh seperti ini saya jadi tau tentang AA Navis sastrawan yang sangat terkenal. balas; Tulis komentar baru. Nama Anda: * email: * Materi isian ini bersifat
Kemarauby A.A. Navis 4.09 · Rating details · 199 ratings · 36 reviews Kemarau panjang melanda sebuah kampung. Tanah jadi retak dan sawah pun jadi kering kerontang. Orang kampung pun mulai resah dan gelisah. Sebetulnya ada sebuah danau dekat kampung itu. Akan tetapi, orang kampung ternyata lebih suka pergi ke dukun.
Sinopsiscerpen robohnya surau kami karya aa navis menceritakan tentang kematian seorang kakek yang semasa hidupnya berprofesi sebagai garin (penjaga surau) dan lebih dikenal sebagai tukang asah pisau. Source: mereka melakukan protes kepada tuhan.
KARYADALAM ANTOLOGI INDONESIA: 1968 : Angkatan 66 oleh H.B. Jassin, Penerbit GunungAgung, Jakarta. 1977 : Langit Biru Laut Biru oleh Ayip Rosidi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. 1979 : Cerita Pendek Indonesia oleh Satyagraha Hoerip, Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta.
Menurutdata Ismet Fanany, AA Navis sudah menulis 69 cerpen sampai akhir hayatnya pada 23 Maret 2003. Akan tetapi, hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan untuk dikumpulkan dalam buku Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2004). Satu cerpen yang masih belum ditemukan itu berjudul "Baju di Sandaran Kursi".
CERPEN'Robohnya Surau Kami' A.A. NAVIS A. Analisis Unsur Intrinsik Cerpen 'Robohnya Surau Kami' Unsur intrinsik merupakan unsur yang membentuk penciptaan karya sastra dari dalam. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Unsur intrinsik yang ada dalam cerpen „„Robohnya Surau Kami‟ ‟
NavisRp80.000 Cashback Kab. Sukoharjo samudra solo cerpen cincin kelopak mawar pemenang lomba cerpen Aa Navis Awards Rp15.000 Cashback Kab. Kudus e-book-e MATA YANG INDAH: CERPEN PILIHAN KOMPAS 2001 - AA NAVIS DKK Rp50.150 Kab. Sleman Kedai Pataba AA Navis- 2 pcs Kliping Artikel Rp15.000 Cashback Bandung Kawan DuniaMayaShop
Cerpen"Robohnya Surau Kami" Karya A.A Navis sebagai Karya Unik dari Sang Kepala Pencemooh Wa Ode Rizki Adi Putri Ali Akbar Navis atau A.A. Navis, Sang Kepala Pencemooh, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya.
7N2YOtD. Novel Kemarau Keberanian Navis Berjuang Mengubah Paradigma yang Membiasa dalam Masyarakat Minangkabau 1. Deskripsi fisik buku Judul Kemarau Pengarang Navis Kata Pengantar Sapardi Djoko Damono Penerbit, Kota Grasindo, Jakarta Tahun terbit 2003 Cetakan ke- 6 enam Jumlah halaman i-x; 117 halaman Ukuran 14 X 21 cm Musim kemarau yang melanda kali ini lebih panjang dari biasanya hingga merusak lahan pertanian dan tanamannya. Upaya dilakukan untuk mengatasi hal itu, bahkan pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan. Nmaun, hasilnya tak berwujud. Penduduk daerah itu mulai putus asa dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang tak produktif, seperti main domino, kartu lainnya, bahkan hanya ngobrol bersama. Tatkala orang-orang berpangku tangan berserah pada nasib, Sutan Duano mengangkut air danau yang ada di daerah itu untuk menyiram sawahnya. Secara rutin kegiatan itu dilakukannya pada pagi dan sore hari. Ia memang bukanlah penduduk asli daerah tersebut, melainkan seorang pendatang baru, yang tak diketahui oleh orang-orang di daerah itu asal muasalnya. Wali Nagari atau kepala desa telah mengizinkan Sutan Duano menempati sebuah surau tua yang lapuk. Saat Belanda mencoba menduduki kembali Indonesia, surau tempat tinggal Sutan Duano kedatangan seorang Haji Tumbijo, teman baik yang dikenalnya saat tinggal di kota. Ketika Haji Tuimbijo hendak kembali ke kota, ia berkata kepada Wali Nagari, “Ia sudah berubah. Ia akan menjadi orang yang berguna di sini” Navis, 20034. Situasi politik yang berkembang saat itu membuat orang berubah pola pikirnya. Mereka mulai berganti sudut pandang tentang hidup dan kesulitan kehidupan. Pola hidup lama berubah ke dalam kegiatan mengikuti kursus baca tulis, kursus lain, bahkan kursus politik. Di sisi lain seorang Sutan Duano juga memulai hidup barunya dengan kegiatan mengolah lahan pertanian yang tak terawat, memelihara ternak, bahkan membeli beruk untuk memanjat kelapa. Akibatnya, ketika orang mulai bosan dengan kegiatan kursus dan politiknya sementara kesulitan ekonomi terus menghadang, Sutan Duano telah menjadi seorang yang cukup berada di kampung itu dan akhirnya disegani oleh orang-orang sekitarnya. Keseganan masyarakat sekitar bukan karena kekayaan Sutan Duano, melainkan karena kebaikan hatinya. Secara bertahap Sutan Duano bisa memimpin para petani untuk mengerjakan sawahnya, menghapus sistem ijon dan tengkulak, serta mendirikan koperasi. Hal itu memperkokoh kepercayaan masyarakat kepada Sutan Duano hingga akhirnya dia diberi kepercayaan untuk menggantikan guru agama yang baru saja meninggal dunia. Maka, suraunya mulai ramai dikunjungi orang untjuk mengikuti pengajiannya. Langkah keberhasilan Sutan Dunao tersebut sesungguhnnya bermula dari Sutan Caniago, seorang petani yang hendak menjual padinya dengan sistem ijon karena butuh modal untuk berdagang di rantau. Ia berharap bisa mengubah nasibnya. ”Jangan bermain judi dengan nasib, Sutan,” kata Sutan Duano kepada lelaki itu. Sutan Duano juga menasihati lelaki itu membatalkan niatnya merantau ke kota. Di kota banyak godaan dan kemaksiatan. Kalau rajin, hidup di desa pun bisa membuat orang kaya dan berhasil. Namun, nasihat itu ditanggapi oleh Sutan Caniago sebagai penolakan permintaannya hingga membuatnya marah dan meningggalkan Sutan Duano. Esok harinya Sutan Duano mendatangi Sutan Caniago, lantaran ia ingat nasihat Haji Tumbijo serta niatnya utnuk mengubah perilaku dan kebiasaan penduduk agar hidup mereka menjadi lebih baik. Diberikannnya uang kepada Sutan Caniago sebagaimana diinginkan, namun ia memberi syarat harus menyuratinya setiap bulan. Sutan Caniago mengikuti syarat itu hingga akhirnya ia mengucapkan terima kasih atas nasihat Sutan Duano di surau dulu. Pada surat keempat ditulisnya bahwa Sutan Duano hanya mengambil hasil panen sebanyak uang yang diterimanya dulu, tidak mengambil seluruh hasil panen sebagaimana pengijon lazimnya. Sikap Sutan Duano ini menggemparkan isi kampung dan membuat keberadaannya semakin berarti bagi masyarakat. Sutan Duano juga mengajak penduduk bergotong royong menyiram sawah mereka dengan air danau yang terletak di pinggir kampung. Sutan Dunao mengajukan usul kepada Lembak Tuah, pemilik sawah terluas, serta Rajo Bodi, orang yang disegani. Namun, usulan itu ditolak dengan berbagai alasan. Mereka lebih senang pasrah kepada takdir yang diberikan Tuhan. Meskipun memiliki waktu dan tenaga untuk mengubah nasibnya, penduduk kampung lebih senang bermain kartu serta duduk-duduk ngobrol di lepau. Sutan Duano menyadari bahwa untuk mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat diperlukan waktu dan proses yang panjang. Lantas Sutan Duano berniat memulai rencananya itu dari diri sendiri mengangkut air danau dan menyiran sawah miliknya. Acin, seorang anak janda muda mendatangi Sutan Duano yang sedang beristirahat habis menyiram tanaman. Ditanyakan oleh Acin mengapa Sutan Duano melakukan hal itu. Sutan Duano mengatakan bahwa manusia harus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Anggapan masyarakat terhadap apa yuang dilakukan oleh Sutan Duano merupakan kesalahan berpikir. Maka, diajaklah Acin untuk melakukan hal yang sama. Omongan dan tafsiran orang tentang apa yang dilakukan oleh Sutan Duano dan Acin beraneka ragam. Di lepau berkembang isu bahwa Sutan Duano ada maksud tertentu mendekati Acin kepada janda muda, ibunya, Gudam.. Gunjingan itu menghapus jejak langkah Sutan Duano yang baik selama ini. Di pinggir sungai tempat para wanita mandi berkembang gosip bahwa Sutan Duano memang mendekati Gudam, si janda muda itu, sebab ia belum memiliki istri. Dalam suatu pengajian Sutan Duanio mengajak para ibu bergotong royong menyiram sawah mereka. Mayoritas mereka menolak dengan berbagai alasan dalam kaitannya dengan gudam, si janda muda. Si janda muda itu juga tidak datang dalam pengajian karena malu dengan gosip dirinya dan Sutan Duano. Sutan Duano marah mendengar hal itu. Namun, gosip itu berkembang menjadi fitnah. Gudam melarang Acin menyiran sawah serta menemui Sutan Duano. Ketidakdatangan Acin membuat kegiatan menyiram sawah Sutan Duano menjadi kacau. Sutan Duano sudah menganggap Acin sebagai pengganti anaknya yang hilang dua puluh tahun lalu. Sutan Duano merasa kesepian, apalagi ketika pengajian tidak satu ibu pun yang datang ke surau. Acin pernah menanyakan isu itu kepada ibunya, tapi dijawab bahwa hal itu hanyalah sebagai kata-kata jahat. Namun, isu berkembang terus hingga si Acin pernah ditemui oleh Saniah, janda yang menginginkan Sutan Duano. Acin menjawab benar isu tersebut. Hati kecilnya menginginkan hal itu. Saniah menjadi cemburu hingga berpikir untuk membuat fitnah. Diberitakannnya kepada Acin bahwa Gudam telah pernah tidur dengan Sutan Duano yang masuk lewat jendela. Acin berubah pikiran hingga benci kepada Sutan Duano. Di surau, Kutar menemukan dan membaca surat yang dikirim Masri berisi Sutan Duano agar ke Surabaya. Masri merupakan anak Sutan Duano yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Kutar menceritakan hal itu kepada Acin hingga membuatnya cemas. Acin memberanikan diri bertanya kepada Sutan Duano perihal itu dan dijawabnya akan pergi setelah musim panen. Hal itu membuat Acin ingin agar ia diajak pergi, bukan Kutar. Ditanyakan pula isu yang diucapkan Saniah tentang Sutan Duano dan ibunya. Sutan Duano berhasil meyakinkan Acin bahwa hal itu tidak benar. Berita rencana kepergian Sutan Duano cepat menyebar. Kutar memberitahukannya kepada semua orang. Oleh sebab itu, masyarakat menginginkan acara perpisahan sebagai tanda persahabatan dengan orang yang banyak menolong namun belum sempat ada balas budinya. Di surau, Sutan Duano membaca kembali surat kiriman Masri itu. Hal itu membuatnya teringat masa lalu. Memang ia ingat setelah kematian ibunya Masri, istrinya, berkali-kali ia mencari penggantinya, namun berakhir dengan perceraian. Salah satunya, Iyah namanya, diceraikan tatkala sedang hamil. Pengalaman kawin cerai itu membuatnya mengambil pelampiasan kesepiannya berkencan dengan wanita malam. Masri yang tumbuh remaja mengetahui hal itu sehingga ia marah. Hal itu membuat Sutan Duano bingung. Ia mengadukan kesepian dengan perbuatannya. Sutan Duano sempat dipenjara karena keributannya dengan teman kencan. Hal ini membuat Masri kabur tak tentu jejak langkahnya. Keluar dari penjara selama tiga tahun, Sutan Duano menjadi kesepian. Anak satu-satunya pergi tanpa jejak hingga membuat Sutan Duano semakin tak karuan arah hidupnya. Mabuk-mabukan merupakan pelariannya. Ia terus berusaha mencari Masri, namun tak menemukan jejak kakinya. Suatu hari datanglah Haji Tumbijo, kakak iparnya, menasihatinya ”Carilah ia dalam hatimu, seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahala-pahala dan kebaikan. Kalau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau sudah menemui Tuhan. Sudah menemui kebenaran. Dan di situlah Masri berada,” katanya Navis, 197769. Kata-kata Haji Tumbijo itu menyentuh hati Sutan Duano. Maka, ia berusaha mengubah jalan hidupnya ke arah kebenaran serta berusaha menolong orang lain. Ia berharap bahwa pola itu dapat memupus kesalahan dan dosa masa lalunya. Maka, kehadiran Acin dalam waktu hidupnya mengingatkannya pada Masri hingga disayanginya. Terlintas dalam benaknya untuk menikah, tetapi kegagalan perkawinan kembali menghatuinya. Hal itu nampak tatkala Acin dan Gudam datang ke surau. Gudam meminta Sutan Duano menjadi ayah bagi anak-anaknya. Sutan mengatakan bahwa ia harus meninggalkan kampung tersbeut sebab harus menemui Masri yang telah lama tak bertemu. Sutan tak memberi batas waktu kapan akan kembali hingga jawaban itu dianggap sebagai penolakan oleh Gudam. Beberapa orang menemui Sutan Duano di surau dan menanyakan langsung kepadanya perihal kabar rencana kepergiannya ke Surabaya. Banyak di antaranya yang merasa berutang budi pada Sutan Duano sebab upaya pengairan sawah oleh Sutan Duano banyak memberikan manfaat bagi kaum petani kampung itu. Mereka juga masih memerlukan gagasan Sutan Duano untuk kehidupan mereka dan meminta agar Sutan Duano tidak meninggalkan kampung mereka. Sutan Duano memenuhi permintaan mereka. Kepergian Sutan Duano hanyalah menemui Masri, setelah itu kembali lagi ke kampung mereka. Ada surat dari mertua Masri yang sampai kepadanya bahwa Sutan Duano tak perlu ke Surabaya sebab kedatangannya justru akan merusak kebahagiaan keluarga Masri. Tatkala musim panen semakin mendekat, tiba-tiba datanglah pianggang hama walang sangit menyerang. Hal ini membuat Sutan Duano merasa mendapat cobaan baru. Maka disemprotlah sawahnya dengan antiserangga. Tetapi tiba-tiba kabar tak mengenakkan datang lagi, Acin sakit. Luka karena menyepak tahi kuda tatkala kesal dengan isu tingkah Sutan Duano tidur bersama ibunya membuatnya terkena tetanus. Kesulitan keuangan Gudam, ibu Acin, yang tak dibantu keluarganya untuk mengobatkan Acin ke Bukittingi akhirnya diatasi oleh Sutan Duano dengan janji bahwa Acin adalah anaknya juga. Sutan Duano dan Gudam akhirnya tumbuh cinta. Hal ini membuat Saniah cemburu dan memasang guna-guna di rumah Gudam yang sempat terlihat oleh Sutan Duano. Tatkala Gudam mengadakan syukuran atas kesembuhan Acin di rumahnya, Sutan Duano tak bersedia datang dengan alasan tak menyenangi pesta yang hanya untuk orang kaya. Gudam mendatangi Sutan Duano ke suraunya, tapi tetap tidak mau datang. Gudam merasa malu. Pulanglah dengan segera Gudam ke rumahnya. Di jalan gudam bertemu dengan Saniah yang menantangnya diiringi fitnah bahwa Gudam telah membayar utang kepada Sutan Duano dengan menjual dirinya. Maka, terjadilah perkelahian yang melibatkan keluarga kedua pihak hingga harus diakhiri oleh Wali Nagari. Rapat yang dipimpin oleh Wali Nagari itu sulit mncapai kata sepakat. Meski Wali Nagari berusaha membela Sutan Duano, rapat akhirnya memutuskan mengusir Sutan Duano dari kampung itu. Wali Nagari ditugasi oleh warga untuk menyampaikan putusan rapat. Akhirnya Wali Nagari dibantu oleh tokoh masyarakat mendatangi Sutan Dunao. Putusan rapat disampaikannya dengan berat hati. Sutan dengan keikhlasan menerima, dan mengatakan bahwa semua harta yang diperoleh dari kampung itu ditinggalkan dan piutangnya diserahkan kepada koperasi untuk menambah modal. Sutan Duano hanya memohon untuk bertemu dengan Acin sebelum ia berangkat, tetapi Gudam tidak mengizinkannya. Sutan Duano menyerahkan suat wasiatnya seluruh hartanya kepada Acin. Pergilah Sutan Duano meningalkan kampung itu menuju Surabaya. Ia langsung menuju ke rumah Masri. Ia malah bertemu dengan Iyah, istrinya dulu, yang ternyata adalah ibu Arni, istri Masri. Lebih tak disangkanya, ternyata Arni adalah anak kandungnya juga. Maka, terbongkarlah silsilah bahwa Masri dan Arni adalah kakak beradik, meski lain ibu. Hal itu sengaja tak diberitahukan oleh Iyah. Iyah tidak ingin merusak kebahagiaan mereka berdua. Tetapi, Sutan Duano bersikeras memberitahukan hal terlarang itu kepada anaknya. Kedua orang tua itu bersitegang dengan pendapat masing-masing. Iyah yang merasa sakit hatinya lantas memukul Sutan Duano dengan kayu hingga pingsan dan berdarah. Datanglah Masri dan Asri yang kaget dengan peristiwa itu. Diceritakanlah oleh Iyah apa yang terjadi hingga ia tak kuat menahan diri, lalu pingsan. Bertahun-tahun kemudian Iah meninggal di rumah sakit, tak lama setelah mebuka rahasia perkawinan Masri dan Arni. Masri dan Arni menyadari perkawian mereka dilarang agama. Maka, mereka berpisah. Tak lama kemudian Arni kemudian menikah dengan anak Haji Tumbijo, sedangkan Masri menikahi teman sekerjanya. Sutan Dunao pun kembali ke desa tepi danau, hidup rukun dengan Gudam beserta anak-anaknya, Acin dan Amah. Perjuangan Sutan Duano belum selesai sebab alam pikiran warga kampung telah membeku. Hidup berjuang dengan keikhlasan adalah jalan untuk menemui Tuhan Yang Maha Esa. Demikian Navis mengakhiri novelnya. 3. Latar Belakang Masalah Haji Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan digelari sebagai kepala pencemooh. Ia salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Indonesia kehilangan sastrawan fenomenal. Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924, ini adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami 1955 Bianglala 1963, Hujan Panas 1964; Kemarau 1967, Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, 1970, Dermaga dengan Empat Sekoci, 1975, Di Lintasan Mendung 1983, Dialektika Minangkabau editor 1983, Alam Terkembang Jadi Guru 1984, Hujan Panas dan Kabut Musim 1990, Cerita Rakyat Sumbar 1994, dan Jodoh 1998. Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, Navis pada 17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep 1975, Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin cerpen pemenang majalah Femina 1979, Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an. Menulis bukanlah pekerjaan mudah, namun memerlukan energi pemikiran serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu. Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? ”Soalnya, senjata saya hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997. Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh. Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran. Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan. Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi,” katanya. Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. ”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya. Ia juga melihat perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. ”Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” ujarnya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar. Itulah AA Navis Sang Kepala Pencemooh.[1] Istilah sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Maksudnya, sastra bukanlah sekadar istilah guna mengemukakan feomena yang sederhana atau gamblang, melainkan sastra memiliki arti luas dalam rangkaian yang berbeda. Secara signifikan, untuk memahami karya sastra secara lebih mendalam diperlukan tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia yang menjadi pusat perhatian kegiatan penulisan sastra sejak awal zaman hingga sekarang, yaitu dorongan religius, sosial, dan personal. [2] Religiusitas sastra nampak dalam kehidupan kebaktian beragama berdasarkan isnpirasi ajaran agama yang mencerminkan persepsi manusia sebagai `ciptaan`, keterlibatannya, serta sikap dan pandangan terhadap ciptaan itu. Dorongan sosial berhubungan erat dengn tingkah laku dan hubungan antarindividu dalam komunitasnya. Di dalamnya, dorongan sosial tersebut menghasilkan karya-karya sastra yang bernuansa nilai-nilai hakikat hidup dan khidupan serta problema manusia di dalamnya. Dorongan personal mengarah pada penjelajahan pribadi hingga muncullah biografi atau otobiografi, bahkan penulis berusaha menjelajahi sisi pribadi dan kadang ingin mengubah alam kesadaran manusia. Karya sastra seringkali mengngkapkan keprihatinan penulis terhadap hakikat nilai-nilai dalam kaitannya dengan eksistensi manusia. Novel Kemarau merupakan karya sastra yang secara historis muncul dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat dalam Harian Res Publica, Padang, tahun 1964. [3] Oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, karya tersebut diterbitkan dalam bentuk novel, yang kemudian diolah lagi oleh Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1997, dan mulai tahun 1992 diolah oleh Penerbit Grasindo, Jakarta. Novel Kemarau banyak dibicarakan oleh para kritikus dari berbagai sudut pandang. Masalah yang diungkapkan dalam novel ini selalu menarik dan layak bahas hingga kini. Gaya penyampaian pengarang memberikan kesan tersendiri, ada yang menganggapnya satiris berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Tokoh cerita digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan sikap dan perjuangan yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma yang mengikat dan telah membiasa dalam pikiran, perkataan, dan perilaku perbuatan. Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Rene Wellek dan Austin Warren membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature represent’ life’; and life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical. 195694[4] Senada dengan pernyataan di atas, Damono dikutip Wahyudi Siswanto 2008 dalam Pengantar Teori Sastra mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.[5] Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap. Tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial. Di sisi lain, sastra sebagai suatu alat dapat memberikan perjuangan pada kepentingan tertentu, misalnya untuk mendidik dan mengubah masyarakat pembacanya. Di samping juga mencerminkan kenyataan, sastra mampu `mengubah kenyataan` -meski tidak langsung- sehingga dapat membuka mata masyarakat terhadap ketidakberesan apa pun, kebobrokan moral, bahkan kebejatan mentalitas yang terjadi dalam masyarakat. Novel Kemarau dikemas dalam 20 bab oleh pengarangnya, diakhiri dengan bagian penutup. Sayangnya tidak ada bagian pendahuluan secara eksplisit, meskipun hal yang dimaksud sama dengan Bab 1 dalam novel itu. Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang membuat deskripsi latar cerita awal. ”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya. ... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.” Navis, 2003 1. Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang di tengah masyarakatnya untuk megubah watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras `melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya. ”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi, sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.” Navis, 20031-2. Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya. Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat. ”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.” Navis, 2003 3 Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Birokrasi yang membudaya dalam adat Wali nagari yang egois untuk kepentingan nafsu diri harus diatasi oleh Sutan Duano. ”Di waktu itulah Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.” Navis, 2003 5 Sikap dan perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Sutan Duano juga digunakan oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak baik. ”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga.” Navis, 2003 6 Sutan Duano juga digunakan oleh navis untuk mendidik masyarakjat agar jangan suka mengadu nasib ke daerah lain-kota dengan budayanta meminjam untuk modal usahanya. ”Sebulan setelah lamanya laki-laki itu di rantau, datangklah suratnya yang mengatakan ia telah memulai kelilingh, berdagang baju konveksi. ... Akhirnya, pada surat yang keempat, dikatakannya bahwa ia mertasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijualnya dengan hanya memotong seharga uang yang diberikannya dulu.” Navis, 2003 12 Niat Sutan Duano begitu besar untuk mengubah plola hidup masyarakat memang banyak mengalami hambatan, baik dari Wali Negeri, tokoh masyarakat, orang terrkaya, tokoh petani. Tetapi niat besar tersebut tidak menyusut. ”Yang dimauinya ialah hendak mengubah cara hidup orang di kampung itu. Mereka terlalu banyak membuang waktu. Lalai bila mereka menganggap pekerjaan telah habis. Sedang sebenarnya meereka itu adalah bangsa yang ulet dan rajin. Ia selalu melihat betapa rajinmnya mereka bila musim ke sawah tiba. ...Tetapi... tak tentu lagi apa yang mereka perbuat. Mereka akan mengabiskan waktunya di kedai kopi, nongkrong atau main domino. Menurut pendapat Sutan Duano, bagi mereka itu harus dicarikan pekerjaan. Asal ada pekerjaan yang tersedia, tentulah mereka akan mau mengerjakannya. Mengubah pekerjaan bukanlah kebiasaan mereka. ... Mereka tidak bercita-cita mengubah hidup ke arah yang lebih tinggi... satu-satunya jalan bagi Sutan Duano ialah memberi contoh bagaimana mernjadi petani yang baik.” Navis, 2003 17 Kesabaran dan ketabahan hati Sutan Duano amat teruji dan terukur dengan berbagai peristiwa yang dialaminya, baik pergunjingan, reaksi orang lain atas kebijakannya, maupun aksi sebagian orang. Kebimbangan kadang muncul dalam benaknya. ”`Bagaimana lagi cara aku mengubah jalan pkikiran orang di sini? Berapa lama aku dapat mengubahnya? Namun, niatnya demikian kuat dengan langkah-langkah yang mapan,` katanya. ... `Agaknya ambisiku terlalu besar. Hatiku jadi sakit kalau gagal. Tetapi apakah ancaman kemarau ini tidak mamou membukakan mata mereka itu?`” Navis, 2003 35 ”Tapi mengapa begitu? pikirnya kemudian. Apakah ini bukan suatu isyarat dari Tuhan bagiku? Tapi buat apa? Apakah hidupku di sini tak diridai-Nya? Tentu ada apa-apanya. Kalau tidak, tidak akan begini jadinya. Mungjkin juga aku disuruh pergi dari kamopung ini. Oleh penduduk di sini? Oh, tidak mungkin. Jadi, olerh siapa?” Navis, 2003 45 Cobaan dan hinaan yang kadang terencana oleh pihak tertentu sering membuat Sutan Duano juga berlatih kesabaran lebih jauh serta ketabahan dan kedewasaan bertindak. “`Bapak naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang. Terengah Sutan Duano mendengar kata anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu. Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.” Navis, 2003 55 Sikap dan ketulusan hatinya menolong sering membuat orang semakin simpati, namun hal itu tidak memperkuat hatinya tatkala problema psikologis muncul berkaitan dengan masa lalu. Memang, masa lalu sering menjerat orang dan menjebaknya dalam kerangkeng pikiran sempit yang merugikan untuk langkah berikutnya. ”`Kita aklan kehilanghan, kalau jadi ia pergi,` kata Uwo Bile. `Orang kampung kita sudah terlalu banyak memakan budinya,1 ulas Datuk Sanga sambil memilin-milin kumisnya. `Tapi di saat terakhir ini, kita tekah mengkhianatinya. Kita seolah sepakat saja menghindarkan diri dari padanya. Aku pun orang celaka, ikut-ikutaan pula menghindari diri.`” Navis, 2003 59 ”Dan pintu itu terbuka, ia tertegun. Di lantai dilihatnya sepucuk surat. Surat yang berperangko. Selama ia menetap di kampung itu, itulah buat pertama kalinya ia menerima surat. Darahnya tersirap juga melihat surat yang tergeletak di lantai itu. ... Dibacanya alamat si pengirim. Tangannya jadi gemetar. Tercenung dan tak tahu ia apa yang hendak dilakukannya terlebih dulu. Surat itu ternyata dari anaknya di Surabaya.” Navis, 2003 63 Masa lalu akhirnya disadari sebagai dosa yang harus ditebus dengan berbuat baik bagi orang lain agar memperoleh pahala. Hal ini merupakan prinsip dasar yang memperkokoh perjuangan Sutan Duano dalam memperjuangkan niatnya mengubah rakyat sekitar tempat tinggalnya ke arah hidup yang lebih baik. Nasihat haji Tumbijo merasuk dalam hatinya. “Tapi haji Tum bijo telah mengatakan padaku,`Kalau Masri, anakmu telah menemui kesengsaraan dan melakukan dosa-dosanya tersebab kau tak mampu mendidiknya selama ini, hapuslah dosanya itu dengan melakukan kebaikan bagi setiap kesengsaraan orang lain. Hadiahkan pahalamu itu semua buat keselamatannya. Mudah-mudahan Tuhan menerimanya. Kalau Masri masih hiduop, dengan perbuatan baikmu yang kauitikadfkan untuk Masri tiu, terlindunglah Masri dati kesengsaraan dan kerhancuran.`” Navis, 200368 6. Kelebihan dan Kekurangan Novel Kemarau Novel Kemarau mengemukakan sikap dan niat perjuangan seorang guru agama dalam mengubah fokus pikiran dan kerangka berpikir masyarakat yang masih diliputi penalaran tradisional penuh dengan kekuatan takhayul dengan memegang tradisi nenek moyang tanpa diikuti nalar sehat atau sikap kritis. Bahkan hal ini sering tak sejalan atau berbenturan dengan ajaran agama yang mereka ikuti. Berdasarkan hal tersebut novel ini mempunyai peranan penting dalam khazanah sastra Indonesia dalam nuansa Islami. Kemarau menampilkan problematika manusia dalam memahami dan menjalankan ajaran agama dalam konteks budaya dan tradisi yang berlaku dalam komunitas tertentu sebagai latar cerita. Ajaran agama dikemas oleh pengarang melalui nuansa motivasi tokoh dalam upaya memahami dan menjalankan ajaran agama di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu, Kemarau tidak bersifat dogmatis, melainkan kisah perjuangan tokoh cerita dalam memahami dan menjalankan ajaran agama. Oleh Navis tema di atas dikemas melalui pengunaan bahasa yang lugas, dialogis, dan berisi. Hal ini memperkuat bahwa amanat sampai kepada pembaca dengan baik, meski pengarang dikenal sebagai penulis bergaya satiris, sinis, dan jago mencemooh. [6] Tokoh cerita dikemas sebagai pibadi yang mampu mengundang simpati masyarakat sekitar sehingga secara bertahap pola berpikir dan cara hidupnya mampu mengubah pola dan cara hidup masyarakat. Melalui novel Kemarau Navis berani menunjukkan dirinya sebagai penganut agama Islam yang baik, bukan sebagaimana ditudingkan oleh teman-teman sebelumnya bahwa ia penganut komunis akibat kesalahpahaman yang tk disengaja. Naavis diundang dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar Bali, Agustus 1963, yang tak diketahuinya kegiatan itu disponsori oleh PKI. Akibatnya, dia dikucilkan oleh teman-teman pengarang lainnya di berbagai kota. Ketika menggubah Robohnya Surau Kami menjadi drama yang ditampilkan di Universitas Gadjah Mada, Bastari Asnin mengemukakan kekecewaannya atas kehadiran Navis dalam acara di Bali itu. Berdasarkan hal inilah Navis mempunyai greget menulis novel yang menunjukkan bahwa dirinya bukan komunis. Kekurangan Kemarau Novel Kemarau memang karya sastra yang Amat penting dalam sastra Indonesia dengan karakteristik bercerita pengarangnya yang khas menggelitik pikiran pembaca. Hanya saja novel ini diakhiri dengan pola pengahiran seperti cerita pendek dalam kemasan singkat. Pengarang mengakhiri cerita secara eksplisit jelas dan transparan, Namun, dikemas dalam rangkaian kata yang singkat dan deskriptif langsung sehingga tak memberikan peluang kepada pembaca untuk mengembangkan imajinasinya. Apalagi bila hal itu dilihat pada bagian ujung cerita tentang nasib tokoh-tokoh ceritanya. Referensi Navis Karya dan Dunianya karangan Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta, halaman 167. Ali Akbar Navis In Memoriam, Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB Rahmanto, B.. Metode Pengajaran Sastra, saduran bebas dari The Teaching of Literature karangan Moody. Yogyakarta Penerbit Kanisius. Navis, 2003. Kemarau. Jakarta Gramedia Widiasarana Indonesia. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta Grasindo. TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB [1] TokohIndonesiaDotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 29 Maret 2011, pukul WIB. [2] B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, saduran bebas dari The Teaching of Literature karangan Moody, Penerbit Kanisius, halaman 13. [3] Navis Karya dan Dunianya karangan Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta, halaman 167. [5] Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta Grasindo. [6] Ali Akbar Navis In Memoriam, Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya otonom, yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu novel. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan uraian tersebut penulis bermaksud membahas tema yang terkandung dalam novel Kemarau karya AA. Navis. Tema adalah gagasan makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara ekplisit. Penafsiran terhadap tema harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Dimulai dari memahami tokoh utama yang biasanya “dibebani” tugas membawakan tema. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Melalui tokoh utamanya yaitu sutan Duano, penulis hendak memberikan gambaran mengenai sosok yang memiliki sifat dan karakter pekerja keras. Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang untuk megubah watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras `melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya. ”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi, sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.” Navis, 20031-2. Melalui penggalan cerita Sutan Duano digambarkan secara jelas sebagai tokoh yang baik hati, pekerja keras, kreatif dan pantang menyerah. Kreatif, “... diambilnya sekeret bambu, lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya.” Navis, 1992 2 Pekerja keras, “... sisa umurnya dihabiskan dengan bekerja keras.“ Navis, 1992 3 Baik hati, “... disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Navis, 1992 5 Pantang menyerah, “Untuk kedua kalinya usaha Sutan Duano Kandas. Tapi, ia belum mau mengalah begitu saja.” Navis, 1992 15 Berdasarkan penggalan cerita tersebut maka sudah sangat jelas bahwa pengarang memang menempatkan sosok Sutan Duano sebagai sosok yang patut dicontoh dan dijadikan pendobrak paradigma tradisional yang hanya mengandalkan keyakinan di luar ajaran agama dan lebih memilih pasrah pada takdir ketimbang berusaha bekerja agar nasib dapat menjadi lebih baik. Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang membuat deskripsi latar cerita awal. ”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya. ... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.” Navis, 2003 1. Dengan kondisi masyarakat yang demikan, Sutan Duano hadir sebagai pelopor dan contoh yang patut diikuti, meskipun pada praktiknya Sutan Duano malah dianggap gila karena menyimpang dari kebanyakan orang. Padahal yang dilakukan Sutan Duano adalah bukti semangat dan kerja keras yang tidak mau berpangku tangan pada nasib yang dialami. Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya. Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat. ”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.”Navis, 2003 3 Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Budaya yang hampir semua terlalu berkesan malas dan apa adanya tanpa adanya perbuhan menjadikan sosok Sutan Duano sebagai pedobrak budaya yang kurang baik. Termasuk budaya birokrasi yang terjadi dalam cerita tersebut yang coba diubah oleh Sutan Duano. ”Di waktu itulah Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.” Navis, 2003 5 Sikap dan perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Tiada usaha yang sia-sia, itulah yang mungkin diajarkan pengarang lewat tokoh Sutan Duano. Meskipun diawal begitu banyak cacian dan keraguan terhadapnya Sutan Duano tetap pada pendiriannya yang akhirnya membuatnya diakui dan disegani oleh penduduk sekitar. Sutan Duano juga digunakan oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak baik. ”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga.” Navis, 2003 6 Begitu banyak hal yang dilakukan Sutan Duano sehingga nampak dengan jelas, tokoh tersebut ingin menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang mestinya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan tak berguna. Penggambaran sifat dan karakter tokoh yang begitu jelas digambarkan pengarang baik lewat tingkah lakunya maupun dari uraian yang disampaikan langsung oleh pengarang melalui ceritanya telah memberikan penulis gambaran dengan jelas mengenai tema yang mungkin ada dalam novel Kemarau. Seperti, sifat kerja keras dan pantang menyerah, pembaharu dalam suatu tatanan kehidupan. Dari kemungkinan tema yang ada penulis masih harus mengkaji lebih dalam mengenai tema utama yang ada dalam novel Kemarau karena “untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja” . Setelah penulis menguraikan mengenai tokoh utama yang memberikan gambaran mengenai tema, selanjutnya penulis uraikan pula konflik yang terjadi dalam cerita. Jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, sehingga konflik utama merupakan modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Permasalah yang menjadi pertama diangkat adalah masalah kemarau yang begitu panjang sehingga membuat sawah menjadi kering dan hasil panen tidak maksimal. Hal inilah yang kemudian menggerakan Sutan Duano mengajak masyarakat bergotong royong mengangkut air dari danau untuk mengairi sawah, namun hal tersebut ditolak, yang pada akhirnya berbuntut panjang mengiringi alur cerita yang dilandaskan dari musim kemarau berkepanjangan dan sikap pasrah para penduduknya. Tak tahu lagi Sutan Duano kepada siapa dia akan pergi. Wali Negeri yang jadi pemerintah di kampung itu sudah didatanginya. Yang punya sawah terluas sudah. Orang yang paling berpengerauh dikalangan petani, sudah. Ia yakin, kemanapun ia akan pergi, tentu ia akan mendapatkan sambutan yang sama. ... satu-satunya jalan bagi Sutan Duano ialah memberi contoh bagaimana mernjadi petani yang baik.” Navis, 2003 17 Tindakan Sutan Duano tersebut kemudian mendapat celaan, banyak orang yang menggap Sutan Duano sudah gila, namun tidak dengan Acin. Anak seorang janda yang justru kemudian memunculkan masalah baru. Masalah demi masalah menimpa tokoh utama, yang pada akhirnya mengungkap semua latar belakang dari Sutan Duano yang merupakan seseorang yang memiliki masa lalu kelam. Dari banyaknya konflik penulis memberikan kesimpulan bahwa masa lalu tokoh utama menjadikan tokoh utama selalu berada dalam masalah. Misalnya, keterkaitan antara masa lalu tokoh yang membuat tokoh enggan untuk beristri lagi menimbulkan banyak masalah, seperti adanya gosip mengenai Sutan Duano dengan Gudam, Sutan Duano dengan Saniah. “`Bapak naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang. Terengah Sutan Duano mendengar kata anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu. Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.” Navis, 2003 55 Diakhir cerita, masa lalunya begitu sangat memberikan masalah tatkala anak dari istri pertamanya menikah dengan anak dari istrinya yang lain. Aku tak tahu kau mengandung waktu itu, Iyah kalau ku tahu...” kata Sutan Duano dengan lemah ........ kini anak yang ku kandung itu, itulah Arni, istri Masri. Menantumu”.... Meskipun masalah yang menimpa tokoh utama begitu banyak dan pelik, pada akhirnya pengarang menyudahi semuanya dengan situasi yang membuat semua menjadi lebih baik. Karena tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya menumpang secara eksplisit melalui cerita. Unsur-unsur yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokan sebagai fakta cerita-tokoh,plot, latar- yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Berdasarkan pada tokoh utama yang digambarkan oleh pengarang yang memiliki sifat bekerja keras dan tidak mudah menyerah, maupun dari konflik-konflik yang pengarang jabarkan mulai dari masalah sifat masyarakat yang tidak mau berusaha, pasrah tanpa mau berjuang, masyarakat yang lebih percaya takhayul daripada berusaha, masalah mengenai masa lalu kelam tokoh utama yang menghantuinya, yang sebenarnya karena masa lalunya itu pula tokoh utama berada dikampung yang menjadi latar dari cerita tersebut, dan usaha pertaubatan seseorang. Maka penulis berkesimpulan bahwa tema pada novel Kemarau dilihat dari tokoh utama dan konflik adalah usaha pantang menyerah seseorang dalam mengubah hidupnya menjadi lebih baik dan sesuai dengan ajaran agama yang disyariatan. Tema ini merupakan sindiran pula bagi mereka yang terlalu mempasrahkan dirinya tanpa mau berusaha. Tema pada novel ini juga mengingatkan kita tentang ayat Al-Qur’an yang memiliki arti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka QS Ar-Ra’d ayat 11
The Drought Novel by Navis is the object of this research. Tells the life of a middle-aged man who lives in a village. His desire to change the way people around him think about work and make sense of life is hampered by their nature and personal past. Explicitly this novel is like discussing the life of the main character. The reality behind it, culture, innuendo, and religious observance neatly packaged in it. Therefore from that novel that is able to load content in the form of reality and expression of the author, the researcher chooses Dynamic Structuralism as the study theory. Will be achieved in this article the approach used only from the perspective of the expressive approach. The method used is reading, recording, watching, recording data on film sources, and processing data. The results of this study resulted in the study of extrasic expressive Sasra works, criticism of the authors of the work on human behavior, the introduction of several Minangkabau cultures, and personal experiences of Navis Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SEMIOTIKA Volume 22 Nomor 1, Januari 2021 Halaman 24—31 URL E-ISSN 2599-3429 P-ISSN 1411-5948 24 KAJIAN EKSPRESIF TERHADAP NOVEL KEMARAU KARYA NAVIS NAVIS’ KEMARAU IN EXPRESSIVE APPROACH Galang Garda Sanubari1, Titik Maslikatin2*, dan Heru Saputra3 1Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember 2,3Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember *Correponding author titikunej Informasi Artikel Dikirim 11/8/2020; Direvisi 25/10/2020; Diterima 10/12/2020 Abstract The object of this research is a novel entitles Kemarau by Navis. It tells about the life of a middle-aged man who lives in a village. The purpose of this research describes the reality and expressions of the author in his works. The method used is descriptive qualitative. The analysis results show that the author, portrayed at the main character, wants to change people's lives and how perceiving work is collided by their personalities and past experiences. This novel is only explicitly discussing the life of the main character. The story is talking about culture, satire and religious obedience. The results of this research show in the extrinsic expressive assessment of literary works, the author's critics about the human behaviour, introduction to several Minangkabau cultures, and Navis' personal experience Keywords Dynamic Structuralism, Expressive, Kemarau Abstrak Novel Kemarau karya Navis yang menjadi objek penelitian ini bercerita tentang kehidupan seorang laki-laki paruh baya yang tinggal di sebuah kampung. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan realitas dan ekspresi pengarang dalam berkarya. Meode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukkan pengarang melalui tokoh utama berkeinginannya untuk mengubah cara pandang orang-orang di sekitarnya tentang kerja dan memaknai kehidupan yang terbentur oleh sifat mereka dan masa lalu pribadinya. Secara eksplisit novel ini seperti membahas kehidupan tokoh utama saja. Kenyataannya di balik itu, budaya, sindiran, dan ketaatan beragama dikemas dengan rapi di dalamnya. Maka dari itu penelitian ini menghasilkan pengkajian karya sasra secara ekstrinsik ekspresif, kritik dari penulis karya terhadap prilaku manusia, pengenalan beberapa budaya Minangkabau, dan pengalaman pribadi Navis Kata kunci Ekspresif, Kemarau, Strukturalisme Dinamik PENDAHULUAN Novel Kemarau karya Navis memiliki ciri khas kuat akan makna dan sindiran terhadap fenomena sosial. Latar musim kemarau berkepanjangan, mengungkapkan usaha tokoh bernama Sutan Duano untuk meyakinkan penduduk kampung agar mau bekerja keras melawan Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 25 kekeringan. Proses penceritaan novel ini mengingatkan kita akan karya lain dari Navis Robohnya Surau Kami. Tidak jauh berbeda, maka kedua karya ini memiliki sindiran yang sama dan menjadikan pola kebiasaan masyarakat sebagai objek dari pengarang. Karya Navis ini, menggambarkan bagaimana penduduk kampung yang umumnya petani menghadapi musim kering yang telah merusak sawah mereka. Warga terlihat putus asa dengan kemarau yang tidak kunjung selesai, sebagai wujud usaha mereka menempuh berbagai cara sesuai dengan apa yang diyakini. Warga kampung melakukan sholat untuk meminta diturunkan hujan, bahkan meminta pertolongan dari orang pintar dukun juga telah dilakukan. Tidak ada hasil yang didapatkan. Selain usaha menurunkan hujan, tidak ada lagi usaha yang coba dilakukan warga untuk mengolah lahan persawahan. Hampir semua dari warga hanya pasrah dan memilih untuk tetap tinggal di rumah. Ketika orang-orang kampung mulai pasrah dengan keadaan, kemudian dimunculkan tokoh Sutan Duano sebagai wujud nyata kerja keras yang ingin digambarkan oleh Navis. Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang pemilihan objek karya sastra, judul karya sastra, biografi pengarang karya, dan gambaran singkat mengenai novel, maka dipilihlah teori Strukturalisme Dinamik sebagai alat pengkajian. Strukturalisme dinamik dipilih sebagai teori pengkajian karena pengungkapan nilai estetik sastra pada novel tersebut dalam pencarian ketegangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik cukup menarik untuk dikaji. Navis yang memang dikenal memiliki gaya bercerita yang meletup-letup dan kerap implisit dalam menyampaikan gagasannya disadari betul oleh penulis bahwa diperlukan suatu kajian yang memerlukan interpretasi khusus dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Keistimewaan novel ini ialah penyampaian sindiran yang dilakukan secara halus, cerita yang epik, dan mengandung makna-makna tersirat. Untuk mengkaji tegangan karya sastra dari segi intrinsik maupun ekstrinsik yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teori lain sebagai alat bantu. Yakni teori “Universe Abrams”. Teori ini digunakan dengan 4 pendekatan karya sastra, yaitu objektif karya sastra, ekspresif pengarang, mimetik realita, pragmatik pembaca Teeuw, 1998189-190. Khusus pada artikel ini, peneliti tidak menggunakan keempat pendekatan milik Abrams. Pengkajiannya fokus pada pendekatan ekspresif yang mengungkapkan sudut pandang pengarang karya sastra. METODE Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk memahami karya ilmiah. Penggunaan metode yang tepat akan berpengaruh pada keberhasilan penulisan sebuah karya ilmiah. Semi 19939 membagi metode penelitian menjadi dua jenis, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan cara kerja penelitian yang menggunakan angka atau hitungan matematis sebagai jaln untuk mengumpulkan data, sedangkan kualitatif mengutamakan cara kerja berdasarkan analisis secara mendalam terhadap objek kajian secara empiris. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan ekspresif. Metode kualitatif yang lebih spesifik digunakan yaitu deskriptif kualitatif. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Novel Kemarau membangun suasana dimana kita dibawa untuk membayangkan kehidupan warga desa yang kolot dengan lagak kebahasaan Melayu mereka. Suasana Melayu khas daerah Sumatra Barat terbangun kuat dalam cerita. Penggunaan sebutan Sutan di depan nama lelaki menjadi contoh suasana yang dihadirkan Navis. Penggunaan kata Amakuntuk menggantikan “ibu” menjadi penguat lain latar sosial dalam novel. Satu hal lagi dan itu yang paling kuat adalah penyusunan struktur kalimat yang terasa berbeda dari Bahasa Indonesia secara aturan. Misalnya dialog berikut “Habis. Apa untungnya mengambil orang kampung lain jadi orang semenda kita, kalau tidak kuat tulangnya melunyah sawah. Entah rang mana dia, mana kita tahu. Entah di mana sakonya asal-usul, entah di mana pandan pekuburannya.” Kemarau41 Dialog di atas merupakan pembicaraan dari masyarakat desa yang penasaran akan siap itu Sutan Duano. Dia tidak diketahui asal usulnya. Tiba-tiba saja dia datang dan menempati surau. Padahal untuk lelaki yang berusia 40 tahun, tidak wajar jika tinggal di sebuah surau. Hanya orang tua dan sudah merasa sebentar lagi akan meninggal saja yang seharusnya mendiami surau. Tinggalnya dia di surau tidak lain juga untuk melakukan ibadah lebih banyak, karena mengingaat umurnya yang kian menua. Lain cerita dengan Sutan Duano. Laki-laki yang masih segar tanpa asal-usul yang jelas tiba-tiba datang untuk tinggal di dalam surau. Sebagai wujud untuk menunjukkan eksistensi bahasa Minangkabau, Navis menggunakan kata sako yang dalam novel Kemarau hal, 41 memiliki arti sebagai asal usul. Contoh lain yang melibatkan kebudayaan Minangkabau sebagai latar belakang penulis adalah sebagai berikut “Ah. Nantilah ngomong. Bagaimana kau?” sela orang yang di kanannya. “Aku pas.” “Bilang dari tadi. Omong ya omong. Main terus juga. Kan main bukan dengan mulut. “Apa kau suka dengan si Gudam maka marah saja padaku, ha?” “Kalau aku tidak satu suku dengannya, sudah kawin bujang dengn gadis aku dengannya,” kata orang itu seray mengempaskan batu dominonya. Kemarau 36 Ada tiga jenis perkawinan yang pantang dilakukan oleh orang Minangkabau. Salah satunya adalah perkawinan sesama suku. Mereka menilai bahwa perkawinan yang dilakukan oleh orang satu suku akan merusak sistem adat. Diketahui bahwa orang-orang Minangkabau menganut sistem matrilineal. Selain menunjukkan eksistensi bahasa dan budaya Minangkabau, Navis tidak lupa untuk menunjukkan peringatan kepada pembaca tentang hal yang menurutnya salah. Ekspresi penulis diwujudkan dengan munculnya Sutan Duano. Pola pikir tokoh tersebut menentang pemikiran- pemikiran sederhana warga desa. Lewat Sutan Duano dia berdakwah, menyampaikan nilai kehidupan, dan beragama yang menurutnya benar. Berikut salah satu pandangan orang-orang yang menurutnya tidak benar n gelar adat untuk laki-laki Minangkabau Rusmali dkk, 1985 n amak; amai; mande; biai; ampu; induak - jari ampu jari Adnan, 2004 Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 27 “Tapi, orang tambah tercengan lagi karena sisa umurnya dihabiskannya dengan bekerja keras. Padahal, setiap orang yang mau mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembhayang, zikir, dan membaca Qur‟an sampai mata menjadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.” Kemarau3-4 Demikianlah menurut Navis mengenai pola pikir masyarakat, tentang orang yang sudah semakin tua dan tinggal di sebuah surau. Pendapat semacam itu tidak disukai olehnya. Dia menunjukkan dalam hampir seluruh penceritaan di dalam novel, bahwa tidak benar pola pikir demikian. Sebagai seorang pengkritik yang baik, Navis tidak hanya menyampaikan sesuatu yang menurutnya jelek saja. Dia juga menyampaikan solusi, sekaligus contoh hasil dari solusi tersebut. “Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah terlantar diminta izin yang punya untuk dikerjakannya. ... Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kusus, ia membenamkan dirinya mengikisi lumut kulit manis sampai tengah malam. Dan di samping itu ia telah mulai sembhayang dan mempelajari agama melalui buku-buku.” Kemarau6 “Tapi, Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak. Karenanya ia telah menjadi orang yang berarti, disegani oleh semua orang tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Kemarau7 Menurutnya, kejayaan suatu nagari tidak tergantung pada luas maupun seberapa suburnya wilayah di sana. Melainkan aktivitas dari warganya masing-masing Navis, 1984120. Dia tidak juga menganjurkan manusia untuk pasrah dengan keadaan. Kemarau panjang adalah salah satu ganjalan besar warga desa untuk mengolah sawah. Solusi selalu dapat ditemukan dalam permasalahan sesulit apapun. Sebagai seorang manusia beragama, Navis cukup mengerti perihal ini. Pemahamannya soal agama juga dia selipkan beberapa kali di dalam cerita Kemarau. Agama bagi Navis bukanlah perantara atau alat untuk memperoleh sesuatu. Sering manusia menginginkan sesuatu, akan tetapi menggunakan agama sebagai landasannya. Ajaran yang digunakan untuk mengatur tata keimanan tidak patut digunakan sebagai alat. Apalagi hanya sebuah pemuas nafsu individual. Setidaknya itulah yang ingin dikatakan oleh Navis lewat kutipan berikut. “Kenapa tidak ada orang yang datang mengaji tadi?” tanya Sutan Duano kemarin sore pada seorang perempuan yang dijumpainya di jalan. “Kami malu,” jawab perempuan itu dengan sorotan mata yang minta maaf. “Malu? Pada siapa?” “Ya. Pada Guru.” “Kenapa?” “Kami perempuan di kampung ini suka pada Guru. Kami akan mengikuti segala yang Guru suruhkan. Tapi untuk mengangkut air danau untuk semua sawah itu, kami tidak SEMIOTIKA, 221, 202124—31 28 sepakat. Lain halnya kalau untuk sawah Guru seorang. Untuk menyiram sawah datuk Malintang yang pelit itu juga, kami tak mau.” Kemarau 60 ... “Sudah selama itu memberi pelajaran agama, hasilnya ternyata nihil. Perempuan di kampung itu hanya jadi pengikutnya, bukan pengikut ajarannya. Ia tidak suka pada pemujaan orang-orang, ia tidak suka sistem bapakisme yang sudah usang itu. Biarlah mereka tak lagi datang ke suraunya, katanya dalam hati. Kalau kedatangannya bukan karena hendak mempelajari agama.” Kemarau61 Navis menyindir keras agama yang hanya diperalat demi keinginan pribadi. Sindiran untuk perempuan-perempuan di kampung yang suka mengaji karena tertarik pada si Guru Sutan Duano. Mayoritas orang suku Minangkabau merupakan pemeluk agama Islam. Mereka juga dikenal memiliki kesetiaan akan agama dan budayanya. Kesetiaan mereka pada adat diungkapkan oleh mamangan hiduik dikanduang adaik, mati dikanduang tanah hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Maknanya adalah bahwa orang-orang Minangkabau sudah mengetahui di mana tempatnya dan tidak akan ada tempat lain Navis, 198486. Satu hal lagi yang tidak diinginkan oleh Navis lewat Sutan Duano. Membicarakan soal kebiasaan. Navis juga tidak luput mengungkapkan pendapatnya. Tampaknya, dia kurang setuju tentang beberapa kebiasaan . Berikut kutipan dialog yang menunjukkan sikapnya tentang kebiasaan “merantau”. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil lebih baik jika di kota?” tanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa yang tahu. “Jangan bermain judi dengan nasib, Sutan.” “Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.” “Di mana Sutan thau rezeki lebih lapang di kota daripada di sini?” ... “Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat.” Kemarau8-9 Lewat pernyataan Sutan Duano, Navis mencoba menyampaikan pendapat bahwa pergi ke kota bukan jaminan untuk menjadi sukses. Pergi ke tempat lain untuk mencari penghidupan, atau biasa kita sebut dengan merantau adalah kebiasaan dari masyarakat Minangkabau. Perbedaan pendapat Navis yang tidak sesuai dengan budaya Minangkabau tersebut bukan berarti dia tidak setuju sepenuhnya atas kebiasaan tersebut. Dia mencoba untuk menjelaskan pertimbangan tentang apa saja yang bisa terjadi. Merantau bukan satu-satunya cara untuk sukses. Bekerja di kampung halaman pun juga bisa sukses. Asalkan orang tersebut mau untuk bekerja keras. Sutan Duano adalah bentuk solusi dari Navis. Bukan hanya nasib yang tidak menentu keadaannya. Harmonisasi keluarga juga dapat terancam. Bagi seorang yang baru saja berangkat merantau, dapat dipastikan bahwa dia akan meninggalkan anak dan istrinya di kampung. Misalnya saja yang terjadi di dalam cuplikan cerita novel Kemarau berikut Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 29 “Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?” “Aku dengar si Mariman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.” Sutan Caniago terdiam. “Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu menghiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Mariman kepada istrinya.” Kemarau11 Seperti itulah ketakutan yang ada di pikiran Navis. Layaknya kebanyakan hal pada umumnya, merantau juga dapat menghadirkan efek baik dan buruk. Tinggal menunggu saja, efek mana yang lebih dominan. Jika orang pergi merantau kemudian dia sukses, itu merupakan hal yang bagus. Apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak beruntung orang tersebut. Memang hasilnya tidak dapat ditebak. Justru karena itulah Navis mengingatkan mereka tentang kerugian yang dapat mereka hadapi. Permasalahan ini dapat disikapi dari sudut pandang lain. Mempertaruhkan nasib terkadang juga membutuhkan perhitungan. Melihat sikap dan gaya pemikiran warga desa, tampak mengkhawatirkan jika mereka harus beradu pikiran dengan orang kota. Belum lagi jika nanati mereka harus menerima kenyataan untuk kembali ke kampung halaman. Bukan hanya budaya merantau yang dikritik oleh Navis. Dia juga mengkritik kegiatan lain yang menurutnya mubazir. Kegiatan tersebut adalah kenduri turun mandi. “Aku tidak suka uang setoran ditunggak. Itu sudah perjanjian kita. Dan aku sudah bilang berkali-kali.” “Itulah, Guru. Aku perlukan senja ini datang pada Guru untuk minta maaf. Uang setoran itu diambil istriku kemarin.” “Aku tidak suka uangku digunakan untuk kenduri yang mubazir itu. Agama kita tak ada menyuruhkan kenduri turun mandi itu. Malah haram hukumnya karena keduri itu Uwo sampai menipu uang orang lain.” Kemarau50 Navis berpendapat jika kegiatan tersebut tidak diajarkan oleh agama Islam. Selain tidak diajarkan, kegiatan tersebut dinilai mubazir. Apalagi dalam kasus di atas, supir bendi yang bekerjasama dengan Sutan Duano telah membohonginya. Kenduri yang mubazir dan dibiayai dengan uang hasil berbohong, maka haram hukumnya. Pendapat-pendapat tersebut perlu dibahas lebih rinci. Agama Islam yang tidak mengajarkan kenduri dan menurut Navis adalah kegiatan mubazir. Kenduri menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme- dinamisme. Sebenarnya tujuan diadakannya hanya untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan Herusatoto, 200125. Sebagai bentuk akulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal dengan ajaran agama Islam, umumnya kegiatan ini akan banyak ditemui di berbagai suku yang mayoritas beragama Islam. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 30 SIMPULAN Berdasarkan data dan analisis di atas, pendekatan ekspresif pada novel Kemarau lebih mengarah kepada ekspresi pengarang untuk mengenalkan budaya daerahnya serta kritik sosial dan praktik keagamaan. Spekulasi seperti ini didasarkan pada isi konten di dalam cerita. Tidak terdapat satu pun bagian di dalam cerita yang mengungkapkan secara implisit maupun eksplisit soal pribadi penulis. Navis dengan tegas mengatakan bahwa untuk sukses tidak perlu merantau. Sukses bisa diperoleh di desa sekalipun, asalkan orang itu mau bekerja keras. Pendapat itu tidak hanya rekaan dari peneliti. Navis pernah mengatakan hal yang serupa ketika dia diwawancarai Kompas pada tanggal 12 Februari 1992. Dia juga menyampaikan pendapatnya soal beberapa poin kehidupan bergama. Lewat Sutan Duano, dia mengatakan jika membaca Al-Quran tanpa mengerti maknanya itu kurang pas. Kitab suci umat muslim ini tentu memiliki makna sendiri di balik kata-katanya. Akan tetapi, jika orang yang membacanya tidak mengerti maksudnya maka apa yang dapat dipraktekkan darinya. Pendapat ini diperkuat dengan contoh kasus di dalam novel. Ada seorang Buyayang mengajarkan tentang pratik zakat. Melihat dari cerita, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Buya tersebut. Seharusnya orang-orang tidak mampu yang harus menerima zakat. Tetapi justru Buya itu sendirilah yang mendapat bergoni-goni beras zakat. DAFTAR PUSTAKA Herusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Graha. MacIntyre, A. 1995. 'Is Patriotism a Virtue?'. Dalam Ronald Beiner ed.. Theorizing Citizenship. hlm. 208-229. Albany State University of New York Press. Nanda, dan Shofiyah, H. 2019. “Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis.” SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8. Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Pers. Navis, 2018. Kemarau. Jakarta PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Rusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa Raya. Som, & Hasanah, F. 2007. “Representasi Femme Fatale dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan.” Poetika Jurnal Ilmu Sastra, 12. Tarigan, 2015. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Kata sapaan islami kepada orang tua laki-laki; bapak atau KBBI Buya n - gelar ulama di ranah Minang; kiai adalah sebutan untuk seorang Kiai di Minang. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang alim dalam ilmu agama. Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 31 Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Ferli HasanahABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk memaparkan karakteristik-karakteristik femme Fatale yang terdapat dalam novel Cantik Itu Luka. Melalui tokoh-tokoh perempuan yang berbeda, ciri-ciri tersebut dapat ditemukan. Dengan menggunakan konsep femme fatale dari Yvonne Tasker dan Edwards, lima tokoh perempuan, yaitu Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik dapat dikategorikan sebagai femme fatale. Citra ini diperkuat juga dengan membandingkan ciri-ciri tersebut pada citra tokoh perempuan yang berbudi luhur. Simpulan akhir mengungkapkan bahwa pada diri tokoh-tokoh perempuan tersebut terdapat ambiguitas antara protagonis dan antagonis, femme fatale dan perempuan berbudi luhur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada citra baru perempuan yang dibangun oleh dekonstruksi seksualitas pada novel kunci femme fatale, perempuan, seksualitasABSTRACTThis study aims to describe the characteristics of femme Fatale contained in the novel Cantik Itu Luka. Through different female characters, these characteristics can be found. Using the femme fatale concept of Yvonne Tasker and Edwards, five female characters, Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, and Si Cantik, can be categorized as femme fatale. This image is also strengthened by comparing such characteristics in the image of a virtuous woman. The final conclusion reveals that in the female characters there is and ambiguity between the protagonist and the antagonist, the femme fatale and the virtuous woman. Thus it can be said that there is a new image of women built by the deconstruction of sexuality in this novelKeywods femme fatale, woman, seksualitySimbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita GrahaB HerusatotoHerusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme SosialisD I NandaH ShofiyahNanda, dan Shofiyah, H. 2019. "Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis." SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8.Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti PersA A NavisNavis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan KebudayaanRusmaliRusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra IndonesiaA M SemiSemi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka JayaA TeeuwTeeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul
cerpen kemarau karya aa navis